BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Era global ditandai dengan
pertumbuhan dan perkembangan industri, kompetisi dalam semua aspek kehidupan
ekonomi, serta perubahan kebutuhan yang cepat didorong oleh kemajuan ilmu dan
teknologi. Untuk memenuhi perkembangan ilmu dan teknologi, diperlukan SDM yang
berkualitas.
Kualitas
pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan dengan
data UNESCO tahun 2000 tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human
Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan,
kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks
pengembangan manusia Indonesia semakin menurun.
Oleh karena itu, pendidikan di
Indonesia perlu ditingkatkan hingga ke pelosok negeri dan bagi masyarakat
menengah ke bawah. Mereka yang paling memerlukan layanan pendidikan adalah penyandang buta huruf dan masyarakat yang kurang mampu di tempat-tempat
yang jauh dan tersebar.
Pembangunan pendidikan
merupakan salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional.
Pembangunan pendidikan sangat penting karena perannya yang signifikan dalam
mencapai kemajuan di berbagai bidang kehidupan: sosial, ekonomi, politik, dan
budaya. Karena itu, Pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak setiap warga
negara dalam memperoleh layanan pendidikan guna meningkatkan kualitas hidup
bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, yang mewajibkan
Pemerintah bertanggung jawab dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan
menciptakan kesejahteraan umum.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian dari pendidikan?
2. Apa pengertian dari pemerataan pendidikan?
3. Bagaimana kondisi pemerataan
pendidikan di Indonesia?
4. Bagaimana upaya pemerintah
dalam melakukan pemerataan pendidikan di Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui arti dari pendidikan.
2. Untuk mengetahui arti dari pemerataan pendidikan
3. Untuk mengetahui pemerataan pendidikan di
Indonesia.
4. Untuk mengetahui upaya yang di lakukan
pemerintah dalam melakukan pemerataan pendidikan di Indonesia.
1.4 Manfaat Penulisan
1.
Dapat mengetahui arti dari pendidikan.
2.
Dapat mengetahui arti dari pemerataan pendidikan.
3.
Dapat mengetahui pemerataan pendidikan di Indonesia.
4.
Mengetahui upaya pemerintah dalam melakukan pemerataan pendidikan di Indonesia.
BAB II
ISI
2.1 Pengertian Pendidikan.
Pendidikan adalah
pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan
sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya
melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Pendidikan
sering terjadi di bawah bimbingan orang lain, tetapi juga memungkinkan secara
otodidak. Setiap pengalaman yang memiliki efek formatif pada cara orang berpikir,
merasa, atau tindakan dapat dianggap pendidikan. Pendidikan umumnya dibagi
menjadi tahap seperti prasekolah, sekolah dasar, sekolah menengah dan kemudian
perguruan tinggi, universitas atau magang.
Sebuah hak atas
pendidikan telah diakui oleh beberapa pemerintah. Pada tingkat global, Pasal 13
PBB 1966 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mengakui
hak setiap orang atas pendidikan. Meskipun pendidikan adalah wajib di sebagian
besar tempat sampai usia tertentu, bentuk pendidikan dengan hadir di sekolah
sering tidak dilakukan, dan sebagian kecil orang tua memilih untuk pendidikan
home-schooling, e-learning atau yang serupa untuk anak-anak mereka.
2.2
Pengertian Pemerataan Pendidikan
Pemerataan pendidikan
dalam arti pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan telah lama menjadi
masalah yang mendapat perhatian, terutama di negara-negara sedang berkembang.
Hal ini tidak terlepas dari makin tumbuhnya kesadaran bahwa pendidikan
mempunyai peran penting dalam pembangunan bangsa, seiring juga dengan
berkembangnya demokratisasi pendidikan dengan semboyan education for all.
Pemerataan
pendidikan mencakup dua aspek penting yaitu equality dan equity. Equality atau
persamaan mengandung arti persamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan,
sedangkan equity bermakna keadilan dalam memperoleh kesempatan pendidikan yang
sama diantara berbagai kelompok dalam masyarakat. Akses terhadap pendidikan
yang merata berarti semua penduduk usia sekolah telah memperoleh kesempatan
pendidikan, sementara itu akses terhadap pendidikan telah adil jika
antarkelompok bisa menikmati pendidikan secara sama. (Eka, R. 2007. Kondisi
Pemerataan Pendidikan di Indonesia, http://edu-articles.com,diakses 22 April 2012).
Secara
konsepsional konsep pemerataan yakni : pemerataan aktif dan pemerataan pasif.
Pemerataan pasif adalah pemerataan yang lebih menekankan pada kesamaan
memperoleh kesempatan untuk mendaftar di sekolah, sedangkan pemerataan aktif
bermakna kesamaan dalam memberi kesempatan kepada murid-murid terdaftar agar
memperoleh hasil belajar setinggi-tingginya (Sismanto , 1993 : 31). Dalam
pemahaman seperti ini pemerataan pendidikan mempunyai makna yang luas tidak
hanya persamaan dalam memperoleh kesempatan pendidikan, tapi juga setelah
menjadi siswa harus diperlakukan sama guna memperoleh pendidikan dan
mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk dapat berwujud secara optimal.
Apabila
dimensi-dimensi tersebut menjadi landasan dalam mendekati masalah pemerataan
pendidikan, nampak betapa rumit dan sulitnya menilai pemerataan pendidikan yang
dicapai oleh suatu daerah, apalagi bagi negara yang sedang membangun dimana
kendala pendanaan nampak masih cukup dominan baik dilihat dari sudut kuantitas
maupun efektivitas.
2.3 Pemerataan Pendidikan di Indonesia
Di Indonesia, yang paling
memerlukan pendidikan adalah mereka yang berada di daerah terpencil dan
kurang mampu. Untuk mengatasi kebutuhan
pendidikan bagi mereka adalah upaya penerapan cara non konvensional. Cara itu
adalah memanfaatkan potensi, kemajuan serta keluwesan teknologi baru. Sekalipun
teknologi baru seperti teknologi komunikasi, informasi dan adi-marga menawarkan
pemerataan pendidikan dengan biaya yang relatif rendah, penggunaannya masih
merupakan jurang pemisah antara ‘yang kaya’ dan ‘yang miskin’. Di samping itu,
sekalipun teknologi dapat menjangkau yang tak terjangkau serta dapat
menghadirkan pendidikan kepada warga belajar, mereka yang terlupakan tetap
dirugikan karena bukan hanya tetap buta teknologi tetapi tertinggal dalam hal
ilmu pengetahuan.
Mayoritas kaum yang kurang
mampu di Indonesia tinggal di tempat-tempat jauh yang dan terpencil. Mereka praktis
kekurangan segalanya; fasilitas, alat-alat transportasi dan komunikasi di
samping rendahnya pengetahuan mereka terhadap teknologi. Bila pendidikan ingin
menjangkau mereka yang kurang beruntung ini kondisi yang proporsional harus
diciptakan dengan memobilasasi sumber-sumber lokal dan nasional. Ketimpangan
pemerataan pendidikan juga terjadi antarwilayah geografis yaitu antara
perkotaan dan perdesaan, serta antara kawasan timur Indonesia (KTI) dan kawasan
barat Indonesia (KBI), dan antartingkat pendapatan penduduk ataupun antargender.
Kurangnya pemerataan dan
carut-marut pendidikan kita selama ini disebabkan pendidikan dikelola tidak
secara profesional. Terjadi bongkar pasang kebijakan secara tidak konsisten,
misalnya; penerapan kurikulum CBSA, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan
kurikulum KTSP. Penggantian nama dari SMA ke SMU kembali lagi ke SMA, sebelum
diadakan evaluasi hasil pelaksanaannya.
Terbatasnya ketersediaan buku
juga merupakan salah satu faktor terpenting penyelenggaraan pembelajaran yang
berkualitas. Namun demikian berbagai sumber data termasuk SUSENAS 2004
mengungkapkan bahwa tidak semua peserta didik dapat mengakses buku pelajaran
baik dengan membeli sendiri maupun disediakan oleh sekolah.
1. Pemarataan
pendidikan formal
a. Pendidikan
prasekolah dan sekolah dasar
Pendidikan prasekolah
merupakan pendidikan pada anak usia dini, misal : playgroup dan taman
kanak-kanak. Pada daerah perkotaan pendidikan prasekolah secara formal sudah
sering ditemukan, tetapi untuk daerah terpencil seperti di pedesaan, masih
sangat jarang dan mutunya sangat berbeda dengan pendidikan prasekolah yang ada
di daerah perkotaan.
Pendidikan sekolah dasar
memang sudah cukup dirasakan pemerataannya di berbagai daerah, hal ini sejalan
dengan program wajib belajar 9 tahun, tetapi mutu dari pendidikan tersebut
masih sangat berbeda antara daerah perkotaan dengan pedesaan.
Ketersediaan buku juga
merupakan salah satu faktor sangat penting dalam pelaksanaan kegiatan
pembelajaran yang berkualitas, namun buku pelajaran yang diperlukan itu belum
tersedia secara memadai, terutama dalam pendidikan dasar. Data Susenas 2004 dan
sumber-sumber yang lain mengungkapkan bahwa tidak semua peserta didik dalam
pendidikan dasar dapat mengakses buku pelajaran, baik dengan membeli sendiri
maupun mendapat pinjaman dari sekolah. Adanya sekolah-sekolah yang membolehkan
guru mata pelajaran menjual buku yang berharga tinggi juga menjadi permasalahan
tersendiri. Penjualan buku-buku dengan harga yang cukup tinggi membuat
masyarakat yang kurang mampu merasa terbebani.
b. Pendidikan
menengah
Pada pendidikan menengah, saat
ini banyak bermunculan sekolah-sekolah unggul. Dalam pelaksanaannya model
sekolah ini hanya diperuntukkan untuk kalangan borjuis, elit, dan berduit yang
ingin mempertahankan eksistensinya sebagai kalangan atas. Kalaupun ada peserta
didik yang masuk ke sekolah dengan sistem subsidi silang itu hanya akal-akalan
saja dari pihak sekolah untuk menghindari “image” di masyarakat sebagai sekolah
mahal dan berkualitas, sekolah plus, sekolah unggulan, sekolah alam,
sekolah terpadu, sekolah eksperimen (laboratorium), sekolah full day, dan
label-label lain yang melekat pada sekolah yang diasumsikan dengan “unggul”.
c. Pendidikan
tinggi
Untuk pendidikan tinggi
persoalannya menyangkut pemerataan kesempatan dalam memperoleh pendidikan
tinggi bagi warga negara dalam kelompok usia 19-24 tahun. Biaya yang diperlukan
untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi memang sangat besar, sehingga
hanya anak-anak yang berasal dari keluarga mampu saja yang memperoleh
kesempatan mengenyam pendidikan tinggi. Kebutuhan biaya baik langsung maupun
tak langsung yang cukup besar inilah yang menyebabkan rendahnya partisipasi
pendidikan pada jenjang perguruan tinggi.
Penyebaran geografis lembaga
pendidikan tinggi unggulan di Indonesia juga tidak merata. Berbagai universitas
terkemuka dipusatkan berada di pulau Jawa, sehingga masyarakat yang berada di
pulau lain harus meninggalkan kampung halamannya demi melanjutkan pendidikan
tinggi.
Kritik kini mulai bermunculan
atas pelaksanaan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) bagi beberapa universitas dan
institut, seperti: UI, UGM, USU, UPI, ITB, dan IPB. BHMN dinilai telah mengarah
ke komersialisasi pendidikan, yang bertentangan dengan misi utama sebuah
lembaga pendidikan tinggi. Untuk bisa kuliah di universitas dan institut
terpandang itu, orangtua mahasiswa harus mengeluarkan uang puluhan juta rupiah.
Ada beberapa argument yang
menyebabkan muncul gerakan protes atas gejala komersialisasi pendidikan tinggi.
Pertama, pendidikan tinggi yang selama ini bersifat elitis akan semakin
bertambah elitis. Perguruan tinggi bertarif mahal akan makin mengentalkan watak
elitisme dan kian mereduksi jiwa egalitarianisme. Gejala ini jelas bertentangan
dengan prinsip pemerataan pendidikan seperti diamanatkan di dalam UU Sistem
Pendidikan Nasional. Prinsip dasar pemerataan ini sangat penting guna
memberikan kesempatan bagi semua golongan masyarakat, untuk memperoleh
pelayanan pendidikan yang baik. Kedua, ada alasan ideologis di balik gerakan
protes itu. Selama ini, yang bisa menikmati pendidikan tinggi adalah
orang-orang yang berasal dari keluarga kelas menengah. Bagi orang-orang yang
berasal dari kelas keluarga kurang mampu mengalami kesulitan mendapatkan akses
pendidikan tinggi dengan biaya yang mahal itu. (Eka, R. 2007).
2. Pemerataan
pendidikan nonformal
Di samping menghadapi
permasalahan dalam meningkatkan akses dan pemerataan pendidikan di jalur
formal, pembangunan pendidikan juga menghadapi permasalahan dalam peningkatan
akses dan pemerataan pendidikan non formal.
Pada jalur pendidikan non
formal juga menghadapi permasalahan dalam hal perluasan dan pemerataan akses
pendidikan bagi setiap warga masyarakat. Sampai dengan tahun 2006, pendidikan
non formal yang berfungsi baik sebagai transisi dari dunia sekolah ke dunia
kerja (transition from school to work) maupun sebagai bentuk
pendidikan sepanjang hayat belum dapat diakses secara luas oleh masyarakat.
Pada saat yang sama, kesadaran masyarakat khususnya yang berusia dewasa untuk
terus-menerus meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya masih sangat rendah.
Apalagi pendidikan non formal, pada umumnya membutuhkan biaya yang cukup mahal
sehingga tidak dapat terangkau oleh masyarakat menengah ke bawah.
3. Permasalahan
pemerataan pendidikan di Indonesia
Pemerataan pendidikan dalam
arti pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan telah lama menjadi
masalah yang mendapat perhatian, terutama di negara sedang berkembang.
Peningkatan pemerataan pendidikan, diutamakan bagi kelompok masyarakat kurang
mampu yang berjumlah sekitar 38,4 juta atau 17,6 persen dari total penduduk.
Kemiskinan menjadi hambatan utama dalam mendapatkan akses pendidikan. Selain
itu, daerah-daerah di luar Jawa yang masih tertinggal juga harus mendapat
perhatian gunamencegah munculnya kecemburuan sosial. Pemerataan pendidikan di
Indonesia merupakan masalah yang sangat rumit. Ketidakmerataan pendidikan di
Indonesia ini terjadi pada lapisan masyarakat kurang mampu. Faktor yang
mempengaruhi ketidakmerataan ini disebabkan oleh faktor finansial atau keuangan
Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin mahal biaya yang dikeluarkan oleh
individu. Indonesia merupakan negara berkembang yang sebagian besar
masyarakatnya hidup pada taraf yang tidak berkecukupan.
Masalah pemerataan pendidikan
juga dipengaruhi oleh sarana dan prasarana. Di beberapa daerah di Indonesia
terdapat banyak sekolah yang kurang terawat. Pada tahun 2006 sekitar 57,2
persen gedung SD/MI dan sekitar 27,3 persen gedung SMP/MTs mengalami rusak
ringan dan rusak berat. Gedung SD/MI yang dibangun secara besar-besaran pada
saat dimulainya Program Inpres SD tahun 1970-an dan Program Wajib Belajar Enam
Tahun pada tahun 1980-an sudah banyak yang rusak berat yang diperburuk dengan
terbatasnya biaya perawatan dan perbaikan. Di bebrapa daerah terpencil sebagian
gedung sekolah hanya terbuat dari kayu dan berlantaikan tanah. Hal ini
diakibatkan oleh buruknya akses jalan menuju daerah tersebut dan kurangnya
perhatian dari pemerintah.
Kesempatan memperoleh
pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen
Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000
menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999
mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi.
Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54,8% (9,4 juta
siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas.
Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan
sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan
dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah
ketidakmerataan tersebut. Berbagai permasalahan dan tantangan yang masih
dihadapi dalam penyelenggaraan pemerataaan peendidikan.
a. Pendidikan
prasekolah,
Beberapa permasalahan yang
masih dihadapi dewasa ini adalah sebagai berikut:
a) Sebagian
besar pendirian lembaga-lembaga pendidikan prasekolah yang diprakarsai oleh
masyarakat masih berorientsi di wilayah perkotaan, sedangkan untuk
wilayah-wilayah di pedesaan atau daerah terpencil dirasakan masih sangat
kurang. Hal ini berakibat pada kurang adanya pemerataan kesempatan untuk
pendidikan prasekolah.
b) Masih
terdapat pendirian/penyelenggaraan pendidikan prasekolah tidak memenuhi standar
minimal baik dari segi sarana dan prasarana maupun mutu dan profesionalisme
guru.
c) Kondisi
sosial ekonomi masyarakat di pedesaan dan daerah terpencil yang sebagian besar
merupakan masyarakt yang kurang mampu telah menyebabkan kualitas gizi anak
kurang dapat mendukung aktivitas anak didik dalam bermain sambil belajar.
d) Banyak
penyelenggaraan pendidikan prasekolah terutama dikota-kota besar, kurang
memperhatikan kurikulum dengan mempraktekkan pola pendekatan terhadap anak
didik terlalu berorientasi akademik dan memperlakukannya sebagai "orang
dewasa kecil" yang dapat menyebabkan terjadinya proses pematangan emosi
anak menjadi kurang seimbang.
b. Pendidikan
dasar
Dalam kaitannya dengan
perluasan dan pemerataan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, wajib
belajar belum memiliki makna "compulsory" karena ketidakmampuan
subsidi pemerintah untuk menjangkau masyarakat menengah ke bawah yang jumlahnya
cukup besar dan secara ekonomi tidak mampu.
4. Upaya Pemerintah dalam Melakukan
Pemerataan Pendidikan di Indonesia
Untuk meningkatkan kualitas
dan pemerataan pendidikan berbagai langkah akan diambil seperti peningkatan
jumlah anak yang ikut merasakan pendidikan, akses terhadap pendidikan ini
dihitung berdasarkan angka partisipasi mulai tingkat Sekolah Dasar hingga
Sekolah Menengah Umum. Dewasa ini, pemerintah telah melakukan upaya-upaya untuk
meningkatkan tingkat pendidikan masyarakatnya, hal itu dapat dilihat sejak
tahun 1984, Indonesia telah berupaya untuk memeratakan pendidikan formal
Sekolah Dasar, kemudian dilanjutkan dengan Wajib Belajar Sembilan Tahun pada
tahun1994. Selain itu, pemerintah semakin intensif untuk memberikan bantuan
berupa beasiswa, seperti Gerakan Orang Tua Asuh, Bantuan Operasional Sekolah
(BOS).
Di dalam Propenas 1999
dalamnya memuat program-program baik untuk Pendidikan Dasar dan Prasekolah,
Pendidikan Menengah, Pendidikan Tinggi, maupun pendidikan luas sekolah. Di
antara program-program tersebut terdapat Dasar dan Prasekolah, maupun
Pendidikan Menengah penuntasan wajib belajar 9 tahun sebagai Program pembinaan
Pendidikan Luar Sekolah (PLS) bertujuan untuk menyediakan pelayanan kepada
masyrakat yang tidak atau belum sempat memperoleh pendidikan formal untuk
mengembangkan diri, sikap, pengetahuan dan keterampilan, potensi mengembangkan
usaha produktif guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Untuk melaksanakan
ini maka dilakukan usaha berupa: meningkatkan sosialisasi dan
jangkauan pelayanan pendidikan dan kualitas serta
kuantitas warga belajar Kejar Paket B setara SLTP untuk mendukung wajib belajar
9 tahun, dan mengembangkan berbagai jenis pendidikan luar sekolah yang
berorientasi pada kondisi dan potensi lingkungan dengan mendayagunakan
prasarana dan kelembagaan.
Di samping itu terdapat pula
upaya pemerataan pendidikan adalah menerapkan pada masyarakat yang kurang
beruntung (masyarakat kurang mampu, berpindah terasing, minoritas dan di daerah
bermasalah, termasuk anak jalanan), seperti menempatkan satu guru, guru kunjung
dan sistem tutorial, SD Pamong dan SD/Mts, SLTP/MTs terbuka. Untuk meningkatkan
kulaitas pendidikan dasar dan prasekolah dilakukan dengan cara meningkatkan
penyediaan, penggunaan, perawatan sarana dan prasarana pendidikan berupa buku
pelajaran pokok, buku bacaan, alat peraga Spesial (IPS), IPA dan matematika,
perpustakaan, laboratorium, serta ruang lain yang diperlukan.
Pada jenjang perguruan tinggi
ada kegiatan pokok untuk memperluas memperoleh pendidikan tinggi bagi
masyarakat. Kapasitas pendidikan tinggi secara geografis untuk memberikan
kesempatan bagi kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah termasuk
kelompok masyarakat dari daerah bermasalah, dengan menyelengarakan beasiswa
perguruan tinggi sebagai pusat pertumbuhan di kawasan serta menyelenggarakan pembinaan
program unggul di wilayah kedudukan perguruan tinggi. Salah satu upaya
alternatif layanan pendidikan, khususnya bagi yang berpindah-pindah,
terisolasi, SD dan MI kecil MI terpadu kelas jauh. Dari uraian di atas tampak
jelas keinginan pemerintah untuk memajukan pendidikan baik pendidikan dasar dan
prasekolah, pendidikan menengah, pendidikan luar sekolah dan pendidikan tinggi.
Kegiatan yang sangat menonjol adalah upaya pemerataan pendidikan, wajib belajar
9 tahun serta pembinaan perguruan tinggi.
Pemerataan pendidikan
dilakukan dengan mengupayakan agar semua lapisan masyarakat dapat menikmati
pendidikan tanpa mengenal usia dan waktu. Untuk itu dilakukan pembinaan ke
semua jenjang pendidikan baik pendidikan reguler ataupun terbuka seperti SD
kecil, guru kunjung, SD Pamong, SLTP terbuka, pendidikan penyetaraan SD, SLTP
dan SMU (paket A, B, C), dan pendidikan tinggi terbuka yang lebih dikenal
pendidikan jarak jauh. Suatu bukti bahwa pemerintah serius mengelola pemerataan
pendidikan dan penuntasan Wajib Belajar 9 tahun adalah kualitas dan jumlah SMP
Terbuka. Program SMP Terbuka seudah berjalan 25 tahun sejaktahun 1979 yang
telah menamatkan 245 ribu siswa dengan jumlah sekolah 2.870 unit sekolah,
12.871 Tempat Kegiatan Belajar (TKB ) dikan dianggarkannya Rp 90 miliar untuk
meningkatkan(TKB), dan itu baru menjangkau 18% kebutuhan.
Pemerintah telah melakukan
berbagai upaya untuk menanggulangi ketidakmerataan pendidikan ini dengan cara
Wajib Belajar Sembilan Tahun, pemberian beasiswa-beasiswa bagi masyarakat yang
kurang mampu, kemudian memberikan Bantuan Dana Operasional (BOS). Walaupun
sudah diadakan sekolah gratis, Bantuan Dana Operasional (BOS), ataupun alokasi
dana BBM, namun bantuan yang diberikan belum merata. Masih banyak masyarakat
kurang mampu yang tidak mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan,
padahal seluruh rakyat berhak mendapatkan pendidikan yang layak.
1. Wajib
Belajar
Dalam sektor pendidikan,
kewajiban belajar tingkat dasar perlu diperluas dari 6 ke 9 tahun, yaitu dengan
tambahan 3 tahun pendidikan setingkat SLTP seperti dimandatkan oleh Peraturan
Pemerintah 2 Mei 1994. Hal ini segaris dengan semangat “Pendidikan untuk Semua”
yang dideklarasikan di konferensi Jomtien di Muangthai tahun 1990 dan Deklarasi
Hak-Hak Azasi Manusia Sedunia Artikel 29 yang berbunyi: “Tujuan pendidikan yang
benar bukanlah mempertahankan ‘sistem’ tetapi memperkaya kehidupan manusia
dengan memberikan pendidikan lebih berkualitas, lebih efektif, lebih cepat dan
dengan dukungan biaya negara yang menanggungnya”.
Berbagai upaya telah dilakukan
oleh bangsa Indonesia untuk meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia
termasuk pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun yang
diharapkan tuntas pada tahun 2008 yang dapat diukur antara lain dengan peningkatan
angka partisipasi kasar jenjang pendidikan sekolah menengah pertama dan yang
sederajat menjadi 95 persen. Namun demikian sampai dengan tahun 2006 belum
seluruh rakyat dapat menyelesaikan jenjang pendidikan dasar.
2. Alokasi
subsidi BBM
Pengalihan alokasi subsidi
bahan bakar minyak (BBM) oleh pemerintah yang sebagian diperuntukkan bagi
sektor pendidikan dan kesehatan mungkin bisa menjadi penghibur. Dari dana
kompensasi bidang pendidikan direncanakan terdistribusi dalam bentuk beasiswa.
Sekitar 9,6 juta anak kurang mampu usia sekolah menjadi sasaran dari program
alokasi ini.
Pada tahun 2003, setidaknya 1
dari 4 penduduk Indonesia termasuk kurang mampu. Jika total penduduk Indonesia
adalah sekitar 220 juta jiwa, maka berarti ada sekitar 60 juta jiwa saudara
kita yang dalam kategori kurang mampu. Artinya, apa yang sekarang sedang
direncanakan pemerintah sangat mungkin belum dapat menjangkau semua rakyat yang
kurang mampu. Memang dibutuhkan cukup waktu untuk sampai ke situ. Yang jelas
awal menuju ke arah itutelah dimulai. Dalam konteks ini sebaiknya dibuat suatu
kriteria siapa yang bisa mendapatkan bantuan, dan siapa saja yang bisa menunggu
giliran berikutnya. Kriteria itu penting agar bantuan yang diberikan kepada
rakyat kurang mampu tepat sasaran. Oleh karena itu, proses seleksi seharusnya
benar didasarkan oleh data lapangan yang seakurat mungkin.
3. Bidang
Teknologi
Kemajuan teknologi menawarakan
solusi untuk menyediakan akses pendidikan dan pemerataan pendidikan kepada
masyarakat belajar yang tinggal di daerah terpencil. Pendidikan harus dapat
memenuhi kebutuhan belajar orang-orang yang kurang beruntung ini secara ekonomi
ketimbang menyediakan akses yang tak terjangkau oleh daya beli mereka.
Televisi saat ini digunakan
sebagai sarana pemerataan pendidikan di Indonesia karena fungsinya yang dapat
menginformasikan suatu pesan dari satu daerah ke daerah lain dalam waktu yang
bersamaan. Eksistensi televisi sebagai media komunikasi pada prinsipnya,
bertujuan untuk dapat menginformasikan segala bentuk acaranya kepada masyarakat
luas. Hendaknya, televisi mempunyai kewajiban moral untuk ikut serta
berpartisipasi dalam menginformasikan, mendidik, dan menghibur masyarakat yang
pada gilirannya berdampak pada perkembangan pendidikan masyarakat melalui tayangan-tayangan
yang disiarkannya.
Sebagai media yang
memanfaatkan luasnya daerah liputan satelit, televisi menjadi sarana pemersatu
wilayah yang efektif bagi pemerintah. Pemerintah melalui TVRI menyampaikan
program-program pembangunan dan kebijaksanaan ke seluruh pelosok tanpa hambatan
geografis yang berarti. Saat ini juga telah dirintis Televisi Edukasi (TV-E),
media elektronik untuk pendidikan itu dirintis oleh Pusat Teknologi Komunikasi
dan Informasi Pendidikan (Pustekkom), lembaga yang berada di bawah Departemen
Pendidikan Nasional (Depdiknas). Ini untuk memberikan layanan siaran pendidikan
berkualitas yang dapat menunjang tujuan pendidikan nasional. Tugasnya mengkaji,
merancang, mengembangkan, menyebarluaskan, mengevaluasi, dan membina kegiatan
pendayagunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk pendidikan jarak
jauh/terbuka. Ini dalam rangka peningkatan kualitas dan pemerataan pendidikan
di semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan prinsip teknologi
pendidikan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan Menteri Pendidikan Nasional.
Siaran Radio Pendidikan untuk
Murid Sekolah Dasar (SRPM-SD) adalah suatu sistem atau model pemanfaatan
program media audio interaktif untuk siswa SD yang dikembangkan oleh Pustekkom
sejak tahun 1991/1992. SRPM-SD lahir dimaksudkan untuk meningkatkan mutu
pendidikan dasar. Produk media audio lain yang dihasilkan oleh Pustekkom antara
lain Radio Pelangi, audio integrated, dan audio SLTP Terbuka. Tentu saja, itu
tadi, termasuk TV-E yang akan berfungsi sebagai media pembelajaran bagi peserta
didik, termasuk mereka yang tinggal di daerah terpencil dalam rangka pemerataan
kesempatan dan peningkatan mutu pendidikan (Eka, R. 2007).
4. Pemanfaatan APBN
untuk pendidikan
Dalam UU Nomor 20/2003 tentang
sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak
yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Untuk memenuhi hak warga
negara, pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan
kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap
warga negara tanpa diskriminasi. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib
menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga
negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.
Untuk mengejar ketertinggalan
dunia pendidikan baik dari segi mutu dan alokasi anggaran pendidikan
dibandingkan dengan negara lain, UUD 1945 mengamanatkan bahwa dana pendidikan
selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20%
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan
minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Dengan kenaikan jumlah alokasi
anggaran pendidikan diharapkan terjadi pembaharuan sistem pendidikan nasional
yaitu dengan memperbaharui visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan
nasional. Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan
sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga
negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan
proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Persentase anggaran pendidikan
adalah perbandingan alokasi anggaran pendidikan terhadap total anggaran belanja
negara. Sehingga anggaran pendidikan dalam UU Nomor 41/2008 tentang APBN 2009
adalah sebesar Rp 207.413.531.763.000,00 yang merupakan perbandingan alokasi
anggaran pendidikan terhadap total anggaran belanja negara sebesar Rp
1.037.067.338.120.000,00. Pemenuhan anggaran pendidikan sebesar 20 persen
tersebut disamping untuk memenuhi amanat Pasal 31 Ayat (a) UUD 1945, juga dalam
rangka memenuhi Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 13 Agustus 2008 Nomor
13/PUU-VI I 2008.
Menurut putusan Mahkamah
Konstitusi, selambat-lambatnya dalam UU APBN Tahun Anggaran 2009, Pemerintah
dan DPR harus telah memenuhi kewajiban konstitusionalnya untuk menyediakan
anggaran sekurang-kurangnya 20 persen untuk pendidikan. Selain itu, Pemerintah
dan DPR memprioritaskan pengalokasian anggaran pendidikan 20 persen dari APBN
Tahun Anggaran 2009 agar UU APBN Tahun Anggaran 2009 yang memuat anggaran
pendidikan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan sejalan dengan
amanat UUD 1945.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemerataan pendidikan
merupakan suatu masalah yang sangat rumit dan sangat sukar untuk di selesai.
Banyak hal yang mempengaruhi masalah pemerataan pendidikan di Indonesia , seperti pendidikan
berkembang hanya di wilayah perkotaan,
jumlah masyarakat yang kurang mampu cukup besar, dan banyaknya daerah terpencil
yang sulit dijangkau oleh kendaraan.
Berbagai upayapun telah
dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi masalah pemerataan pendidikan seperti
program wajib belajar 9 tahun, dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), relokasi
subsidi BBM, dan penggunaan APBD. Namun upaya tersebut masih belum merata.
3.2 Pendapat
Menurut
saya pendidikan adalah hal yang yang sangat kompleks. Oleh karena itu, dalam
melakukan pemerataan pendidikan harus membutuhkan kerja sama dari semua pihak
yang berperan di dalamnya. Disamping pemerintah yang harus menyediakan dan
menjamin pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia, tetapi masyarakatnya pun
harus antusias dalam pendidikan.
3.3 Saran
Sebaiknya pemerintah lebih
meningkatkan upaya-upaya pemerataan pendidikan di Indonesia, tidak
hanya terpaku di wilayah perkotaan, tetapi juga di wilayah terpencil dan
perbatasan, agar pendidikan di daerah tersebut tidak tertinggal oleh daerah
yang lain.
Pengawasan terhadap penyaluran bantuan yang
diberikan kepada masyarakat yang kurang mampu pun harus sangat di pertimbangkan dan di
perhatikan, agar bantuan tersebut tepat sasaran.
DAFTAR PUSTAKA